Membudidayakan tanaman buah dalam pot atau tabulampot memungkinkan untuk skala komersial. Ada kelemahannya, tetapi lebih banyak kelebihannya.
Deretan pohon lengkeng berbaris rapi. Jarak mereka 2 m x 2,5 m. Sosoknya pendek dengan tinggi kira-kira 1,2. Di atas tajuk tampak jaring merah muda transparan. Di dalam jaring itu terdapat dompolan buah lengkeng (Dimocarpus longan) yang lebat, meski masih Februari. Bulan itu mestinya belum musim lengkeng berbuah. Mohammad Reza Tirtawinata membudidayakan tanaman lengkeng dalam planter bag atau kantong tanam berdiameter 60 cm dan tinggi 60 cm.
Sistem budi daya itu tersohor dengan sebutan tabulampot akronim dari tanaman buah dalam pot. Planter bag menggantikan fungsi pot yang lazimnya terbuat dari plastik atau drum. Reza, doktor Ilmu Pertanian alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB), mengatakan bahwa budi daya tanaman buah di tanah secara langsung cenderung berbuah serentak. Artinya jika petani menanam lengkeng di lahan 1 hektare, misalnya, tanaman-tanaman itu akan berbuah secara bersamaan.
Menurut Reza petani yang menerapkan sistem budi daya daya tabulampot lebih mudah mengatur pembuahan sehngga memungkinkan untuk mencegah pembuahan serentak. Membuahkan tanaman dalam pot dengan media tanam terbatas relatif mudah. Hal itu karena area perakaran terbatas—hanya di dalam pot—sehingga pengangkutan nutrisi dari akar lebih optimal dan lebih cepat.
Reza membuat tamzil akar tanaman dalam pot yang lebih pendek itu “menyederhanakan brokrasi” sehingga tanaman mudah berbuah. Itulah sebabnya, lengkeng-lengkeng yang tumbuh di pot di Kebun Petik Tenjo mampu berbuah di luar musim, yakni pada Februari. Peneliti buah tropika di Japan Interational Research Center for Agricultural Sciences (JIRCAS) Hiroshi Matsuda, Ph.D. mengatakan, budi daya tabulampot membuat pembungaan dan pembentukan buah lebih stabil.
Matsuda mengunjungi Kebun Petik Tenjo pada Februari 2025. Menurut Matsuda pola budi daya itu juga berpeluang menghasilkan buah yang berkualitas tinggi dengan nilai jual yang juga tinggi. Hal itu karena, “Kemudahan dalam pemberian air dan pupuk yang optimal untuk tanaman,” kata Matsuda.
Kelebihan lain budi daya tabulampot adalah petani mampu membuahkan tanaman di luar musim. Harga jual buah hasil panen di luar musim cenderung tinggi. Oleh karena itu, peluang petani yang mengusahakan tabulampot untuk meraih keuntungan pun lebih terbuka. Pada panen raya harga buah cenderung jatuh. “Panen bersamaan, buah tidak ada harganya,” kata Reza.
Hal itu terkait hukum ekonomi yakni pasokan buah melimpah saat panen raya. Sebaliknya pasokan buah relatif sedikit di pasaran saat panen di luar musim. Musim berbuah beberapa tanaman buah di Indonesia memang berbeda-beda sesua lokasi tumbuh. Namun, tetap saja perlu biaya untuk mengangkut buah dari satu wilayah yang tengah panen ke wilayah lain yang sedang tidak musim berbuah. Menurut Reza hal itu kurang ekonomis.
Selain itu panen buah di luar musim pun mampu menekan food loss atau kehilangan buah. Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam siaran pers menyatakan kehilangan hasil dari komoditas buah-buahan di Indonesia mencapai 30 persen. Pada umumnya buah-buahan bersifat perishable sehingga umur simpan relatif pendek. Karakter itu menjadikan buah mudah rusak dalam pengangkutan ke wilayah lain.
Populasi melonjak
Tanaman-tanaman lengkeng yang berbaris rapi itu tumbuh di Kebun Petik Tenjo (KPT), Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kebun seluas 5 hektare berketinggan 700-an meter di atas permukaan laut. Kontur lahan di beberapa area berundak-undak. Itulah sebabnya Reza Tirtawinata membuat terasiring untuk meletakkan tabulampot. Di lahan itu Reza juga membudidayakan jenis buah lain seperti alpukat (Persea americana), belimbing (Averrhoa carambola), jambu air (Syzygium sp.), dan jambu biji (Psidium guajava)—semua dalam pot.
Menurut Reza di antara jenis-jenis tanaman buah itu alpukat memiliki tingkat kesulitan pembuahan yang tinggi. Meski demikian Reza dan tim kini mampu membuahkannya. Sementara itu jenis tanaman buah yang tingkat kesulitan membuahkannya relatif sedang antara lain lengkeng, mangga, dan rambutan. Jambu air, jambu biji, dan belimbing (dalam pot) paling mudah untuk dibuahkan.

Bahkan di Kebun Petik yang relatif tinggi (700 m dpl), belimbing tetap lebat berbuah. Padahal, jenis tanaman buah angggota famili Oxalidaceae itu lazimnya tumbuh di dataran rendah. “Kadang teori tidak berlaku di sini,” ujar Reza berseloroh sembari menunjuk jeruk bali di pot. Sosok tanaman itu pendek, kurang dari semeter, dan berbunga lebat meski curah hujan relatif tinggi. Tanaman itu juga lazim tumbuh di dataran rendah.
Reza menuturkan, kelebihan lain tabulampot adalah petani dapat membudidayakan tanaman meski di lahan tandus, tidak subur, atau lahan lain yang kurang cocok untuk budi daya tanaman. Contoh pH tanah rendah atau kandungan bahan organik amat minim. Hal itu karena petani memanfaatkan media tanam seperti kascing atau pupuk kandang, bukan menanam di lahan secara langsung. Kebun Petik Tenjo antara lain memanfaatkan kotoran kambing sebagai media tanam beragam tanaman buah.
Selain itu budi daya tabulampot juga meningkatkan populasi per satuan luas lahan atau high density planting. Di lahan 1 ha petani mampu membudiayakan hingga 2.000 tanaman lengkeng karena jarak relatif rapat. Bandingkan dengan pola budidaya konvensional atau tanam di tanah langsung—jarak tanam 8 m x 8 m—populasi hanya 156 tanaman per hektare. Artinya untuk luas lahan yang sama, populasi tabulampot hingga lima kali lipat. Diharapkan produksi per hektare juga lebih tingggi.

Skala komersial
Pada umumnya masyarakat membudiyakan tabulampot untuk melampiaskan hobi berkebun meski kepemilikan lahan terbatas. Tabulampot sekaligus berfungsi estetis sekaligus penghijauan. Namun, Reza meyakinkan bahwa tabulampot tetap berpotensi dan layak untuk skala komersial. Selama ini kebanyakan tabulampot terkesan untuk “bagus-bagusan” atau fancy. Pehobi memiliki tabulampot dengan jumlah terbatas, bukan untuk skala komersial.
Keruan saja petani yang berniat mengusahakan tabulampot untuk skala komersial harus menerapkan teknologi budi daya intensif. Salah satu di antaranya, “Arsitektur tajuk itu penting,” ujar Reza yang mendirikan Yayasan Alpukat Indonesia (YAI). Menurut Reza pruning atau pemangkasan tanaman buah dengan konsep 1-3-9-27. Maksudnya dari satu pokok atau batang utama yang dipangkas, kelak menghasilkan tiga cabang dan masing-masing tiga ranting atau total sembilan ranting. Setiap ranting juga akan menghasilkan tiga anak ranting atau total 27.
Setelah pemangkasan, akan muncul daun muda. Ketika daun muda menjadi tua seragam, tanaman siap dibuahkan antara lain dengan pemberian pupuk tinggi kalium dan fosfor. Khusus lengkeng, Reza juga memberikan potasium klorat untuk merangsang pembuahan.
Peneliti dan dosen di Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB Dr. Ir. Ketty Suketi, M.Si. mengatakan, sistem budi daya dalam pot memiliki kelebihan. Namun, menurut Ketty perlunya menghitung input dan output budi daya agar usaha tani itu berkelanjutan. Reza memperkirakan produksi sebuah tanaman mencapai 15 kg per tahun dengan budi daya intensif. Sementara itu biaya produksi hanya Rp8.000 per kg. Dalam satu tahun, tanaman yang sama hanya sekali berbuah.
Setelah panen petani juga harus memangkas cabang dan akar. “Tanaman tidak akan stres. Stres itu akan terjadi kalau akar dipangkas tapi daun dibiarkan,” ujar kolektor aneka tanaman langka itu. Enam bulan setelah pemangkasan akar dan daun, tanaman akan pulih kembali. Pemangkasan itu sekaligus mempertahankan tinggi tanaman maksimal 2,5 meter. Ketika berbuah, cabang atau ranting yang menahan beban buah akan melengkung. Dengan demikian petani tetap dapat memanen buah tanpa bantuan tangga atau dingklik.
Pemangkasan tajuk, menurut Matsuda, juga menyebabkan kemudahan untuk mengontrol ukuran dan bentuk pohon, serta lingkungan tumbuh yang mengarah pada kemudahan manajemen budi daya harian. Matsuda juga menuturkan, kelebihan lain budi daya tabulampot skala komersial adalah memungkinkan pemindahan tanaman dan mudah melakukan pembaharuan ke kultivar unggul.
Fertigasi—pemupukan dan pengairan sekaligus melalui selang khusus—belum diterapkan di KPT karena sebagian nutrisi merupakan pupuk organik cair (POC). Ir. A.F. Margianasari dari Kebun Petik Tenjo mengatakan, rutin memproduksi POC dengan memanfaatkan bahan baku yang tersedia di lahan. Riris, sapaan A.F. Margianasari, memanfaatkan bonggol batang pisang (Musa paradisiaca) atau gedebok, kipahit (Tithonia diversifolia), dan serai (Cymbopogon citratus) sebagai bahan baku POC. Butiran POC relatif besar sehingga bisa menyumbat nozel. Itulah sebabnya Reza menghindari fertigasi.
Untuk mengelola lahan 1 hektare cukup dua tenaga kerja. Harap mafhum, Reza menggunakan sistem irigasi tetes sehingga penyiraman lebih teratur dan terukur. Meski demikian, pemanfaatan irigasi tetes juga rentan karena kerusakan listrik. “Tanaman akan rusak dibandingkan dengan tanaman yang ditanam langsung di tanah,” kata Matsuda. Hal itu menjadi kelemahan sistem budi daya tabulampot. Kelemahan lain, biaya yang tinggi untuk material, seperti pot dan media kultur. Planter bag mampu bertahan 5—6 tahun. (Sardi Duryatmo, Ketua 3 Perhimpunan Hortikultura Indonesia, Perhorti)
The post Tabulampot untuk Skala Komersial appeared first on Trubus.
Membudidayakan tanaman buah dalam pot atau tabulampot memungkinkan untuk skala komersial. Ada kelemahannya, tetapi lebih banyak kelebihannya. Deretan pohon lengkeng berbaris rapi. Jarak mereka 2 m x 2,5 m. Sosoknya pendek dengan tinggi kira-kira 1,2. Di atas tajuk tampak jaring merah muda transparan. Di dalam jaring itu terdapat dompolan buah lengkeng (Dimocarpus longan) yang lebat,
The post Tabulampot untuk Skala Komersial appeared first on Trubus. Buah Trubus