Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) adalah primata langka yang hanya hidup di Hutan Batangtoru, Provinsi Sumatra Utara. Jumlahnya diperkirakan hanya 577–760 individu—menjadikannya salah satu kera besar paling langka di dunia. Kondisi ini membuat keberadaan mereka sangat rentan terhadap ancaman, mulai dari penyempitan habitat, konflik dengan manusia, hingga risiko penyakit akibat populasi kecil yang terisolasi.
Isu krusial ini menjadi bahasan utama dalam Belantara Learning Series Episode 13 bertajuk “Peluang Koeksistensi dalam Upaya Konservasi Orangutan Tapanuli”. Kegiatan yang digelar pada 4 September 2025 ini menghadirkan kolaborasi banyak pihak—mulai dari pemerintah, akademisi, organisasi non-profit, dunia usaha, hingga masyarakat. Lebih dari 780 peserta turut serta secara daring maupun luring, menandakan besarnya perhatian publik terhadap upaya penyelamatan satwa kharismatik tersebut.
Tantangan dan Upaya Konservasi
Direktur Konservasi dan Genetik Ditjen KSDAE, Nunu Anugrah, menegaskan bahwa tantangan pelestarian orangutan tapanuli tidak sederhana. Fragmentasi hutan, perburuan, hingga perdagangan ilegal menjadi masalah nyata. Pemerintah sudah memberikan payung hukum lewat Peraturan Menteri LHK No. P.106/2018. Berbagai inisiatif pun dijalankan, mulai dari perlindungan habitat, rehabilitasi, hingga edukasi masyarakat.
Di sisi lain, Dr. Wanda Kuswanda dari BRIN menekankan bahwa orangutan tapanuli kini berstatus Critically Endangered menurut IUCN. Habitatnya hanya sekitar 138.000 hektare, terpecah dalam tiga blok di Lanskap Batangtoru. Kondisi ini membuat mereka kerap bersinggungan dengan masyarakat, terutama karena satwa ini menyukai tanaman budidaya. Konflik pun tak terhindarkan.
Menurut Wanda, mitigasi konflik harus menjadi prioritas. Prinsip utamanya sederhana: keselamatan manusia dan orangutan sama-sama penting. Upaya koeksistensi tidak bisa hanya berorientasi pada perlindungan satwa, tapi juga harus menjaga penghidupan masyarakat sekitar.
Dr. Dolly Priatna, Direktur Eksekutif Belantara Foundation, menawarkan pendekatan Conflict to Coexistence (C2C). Intinya, konflik tidak hanya dikelola, tetapi diubah menjadi peluang hidup berdampingan. Ada empat prinsip utama: menjaga toleransi, berbagi tanggung jawab, membangun ketahanan, serta mengedepankan pandangan holistik.
Langkah konkret yang disarankan antara lain perencanaan tata guna lahan berkelanjutan, pemberdayaan masyarakat, pendidikan lingkungan, penegakan hukum, hingga penelitian ilmiah yang berkelanjutan. Dolly menekankan bahwa kunci keberhasilan terletak pada kolaborasi lintas sektor: pemerintah, akademisi, pelaku usaha, LSM, masyarakat lokal, hingga media.
Kolaborasi Multipihak
Dukungan sektor swasta juga terasa. PT Agincourt Resources melalui Direktur Hubungan Eksternalnya, Sanny Tjan, menilai konservasi hanya bisa berhasil bila dilakukan bersama. Mereka mengusung konsep pentahelix—sinergi lima unsur utama: akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah, dan media. Sinergi ini diyakini mampu melahirkan inovasi sekaligus memperkuat implementasi program pelestarian.
Sementara itu, Sundjaya, antropolog dari Universitas Indonesia, menyoroti pentingnya peran masyarakat lokal. Menurutnya, strategi konservasi akan lebih kokoh bila berbasis pengetahuan dan budaya masyarakat adat. Dengan metode etnografi, interaksi manusia dan orangutan bisa dipahami lebih dalam, sehingga strategi konservasi tidak hanya ekologis, tapi juga sosial-kultural.
Acara ini turut menghadirkan tokoh-tokoh berpengalaman seperti Dr. Sri Suci Utami Atmoko dari Universitas Nasional, Onrizal Ph.D. dari Universitas Sumatera Utara, serta Edy Hendras Wahyono dari Orangutan Foundation International. Diskusi hangat yang dimoderatori Sardi Duryatmo, mantan Pemred Majalah Trubus, memperkaya perspektif.
Dekan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan, Prof. Sri Setyaningsih, berharap forum ini menjadi ruang berbagi ilmu dan pengalaman untuk menemukan solusi nyata. Ia menekankan pentingnya keberlanjutan komitmen dari semua pihak agar koeksistensi benar-benar bisa diwujudkan.
Upaya konservasi orangutan tapanuli sejatinya bukan hanya soal menyelamatkan satu spesies. Lebih jauh, ini adalah usaha menjaga keseimbangan ekosistem, melindungi hutan, sekaligus menjamin keberlanjutan kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Seperti disampaikan Dolly, mimpi besar tentang hidup harmonis manusia dan satwa liar bukanlah utopia. Dengan komitmen jangka panjang, langkah nyata, dan sinergi multipihak, koeksistensi bisa menjadi kenyataan. Orangutan tapanuli adalah warisan berharga bangsa. Menjaga mereka berarti menjaga masa depan kita bersama.
The post Peluang Koeksistensi: Menjaga Orangutan Tapanuli, Menyelamatkan Kehidupan Bersama appeared first on Trubus.
Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) adalah primata langka yang hanya hidup di Hutan Batangtoru, Provinsi Sumatra Utara. Jumlahnya diperkirakan hanya 577–760 individu—menjadikannya salah satu kera besar paling langka di dunia. Kondisi ini membuat keberadaan mereka sangat rentan terhadap ancaman, mulai dari penyempitan habitat, konflik dengan manusia, hingga risiko penyakit akibat populasi kecil yang terisolasi. Isu krusial
The post Peluang Koeksistensi: Menjaga Orangutan Tapanuli, Menyelamatkan Kehidupan Bersama appeared first on Trubus. Berita Trubus